Walimatus Safar dalam Kacamata Syariat

Walimatus Safar dalam Kacamata Syariat

Kebudayaan begitu kental melekat dalam diri Indonesia. Hal itu karena, Indonesia mempunyai ratusan bahkan ribuan pulau yang dihuni oleh penduduk yang berbeda-beda, mulai dari agama, ras, suku, dan aneka ragam lainnya. Konsistensi penduduk dalam mengakarkan kebudayaan menjadikannya sangat sulit untuk dihilangkan, bahkan, adat budaya dari nenek moyang tersebut seakan-akan menjadi syarat dalam permasalahan tertentu. Semisal dalam pelaksanaan haji, sebelum berangkat menunaikan ibadah haji, mayoritas warga Indonesia mengadakan kenduri atau dalam istilah mereka menyebutnya walimatus safar. Bukan tanpa sebab, mereka melakukan acara tersebut dengan harapan yang begitu besar dalam pelaksanaan haji, ah, ada yang katanya biar mabrurlah, biar selamat sampai tujuanlah, biar terjaga dari sifat riya’lah, dan entah, masih banyak lagi. Selagi hal tersebut tidak berlawanan dengan hukum syariat dan tidak menjadikan diri semakin jauh dari Allah SWT., itulah pedoman yang digenggam oleh kebanyakan masyarakat.

Walimatus safar merupakan acara syukuran sekaligus berpamitan untuk berangkat ke Tanah Suci dalam rangka menunaikan ibadah haji. Istilah walimatus safar sendiri jarang bahkan hampir tidak ditemukan dan dikenal dalam literatur fikih, sebelum akhirnya muncul pada tahun1970-an. Istilah walimatus safar, sebelum ini tidak ditemukan dan tidak dikenal dalam literatur Islam, ia muncul pada tahun 1970-an, itu pun dikenal di perkotaan (Jakarta), terkait dengan pelaksanaan selamatan atau syukuran karena akan melaksanakan ibadah haji.”, tulis Agus Arifin[1].

Ahmad Sarwat, dalam bukunya, Ensiklopedia Fikih Indonesia: Haji & Umrah menyebut; apabila ditelusuri lebih jauh memang ada beberapa adab dan kesunnahan secara khusus bagi orang yang akan melaksanakan safar. Dalam hal ini, safar mencakup seluruh aktivitas bepergian tak hanya sekadar untuk haji.

Lalu, bagaimana agama menanggapi budaya muslim Indonesia yang seperti itu? Bahkan dalam literatur fikih tidak ditemukan istilah yang selama ini mereka lakukan, apakah ada bukti mendasar terkait kebudayaan muslim di Indonesia ini? Mari simak bersama-sama!.

 

Apa, sih, walimah itu?

Dalam fikih Islam, walimah mempunyai makna khusus dan umum. Makna umum dari walimah yaitu segala bentuk makan-makan, sedangkan makna khusus walimah yaitu undangan jamuan makan yang diselenggarakan berdasarkan acara tertentu.

Dalam ilmu gramatika arab, kata walimah merupakan cabangan dari kata الولْم yang bermakna perkumpulan[2], maklum saja bila bermakna perkumpulan, karena walimah merupakan perkumpulan orang-orang dalam suatu kenduri. sedangkan makna walimah menurut bahasa syariat adalah jamuan makan yang diselenggarakan berdasarkan kegembiraan atau semisalnya.

Pada dasarnya disyariatkannya walimah bermuara dari hadits Nabi yang berlatar belakang dari pernikahannya Abdurrahman bin Auf.  Beliau berkata kepada Abdurrahman bin Auf: “laksanakanlah walimah walaupun hanya dengan seekor kambing!”. Dari hadits tersebut ulama mengemukakan hukum disunnahkannya walimah, baik itu; walimah ursy, walimah khitan, maupun walimah-walimah lain. Meskipun khitab dari hadits tersebut berdasarkan pernikahan Abdurrahman bin Auf, namun para ulama menganalogikannya terhadap disunahkannya segala bentuk macam walimah.

Dalil lain yang menguatkan disunahkannya walimah adalah; bahwa Nabi selalu melakukan walimah, baik ketika beliau pada saat di rumah maupun saat sedang bepergian. Juga saat pernikahan Shofiyyah, beliau malah melakukan walimah hanya dengan gandum saja[3]. Dari dalil-dalil tersebut, Islam tidak memberikan bentuk minimum atau bentuk maksimum dari walimah. Hal ini memberi isyarat bahwa walimah diadakan sesuai dengan kemampuan seseorang yang melaksanakannya, dengan catatan, agar dalam pelaksanaannya tidak ada pemborosan, kemubaziran, lebih-lebih disertai dengan sifat angkuh dan membanggakan diri[4].

Mengenai menghadiri undangan walimah, para ulama mengklasifikasikan walimah menjadi dua bagian; bagian pertama adalah walimatul ursy’ dan bagian kedua adalah segala jenis walimah lain -selain walimah ursy’-. Mengenai walimatul ursy’ sendiri, para ulama madzhab mengemukakan pendapatnya; tentang wajibnya menghadiri undangan walimah tersebut, berdasarkan hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Nafi dari Ibnu Umar: “ Barang siapa yang diundang dalam acara walimah namun ia tidak menghadirinya, niscaya ia berada dalam kemaksiatan Allah, dan barang siapa menghadiri walimah tanpa undangan yang tersampaiakan, maka ia dicap sebagai pencuri ”.[5]

Dalam Islam, menghadiri walimah  pernikahan adalah sesuatu yang diwajibkan dan bahkan dianggap sebagai tindakan yang mulia. Rasulullah SAW. sendiri menganjurkan umatnya untuk menghadiri undangan pernikahan. Hadits-hadits yang menyebutkan hal ini menegaskan pentingnya mempererat hubungan sosial antar-Muslim dan memberikan dukungan kepada mereka yang menikah. Kendati demikian, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan saat menghadiri walimah:

  1. Kesopanan dan Etika: Saat menghadiri walimah, seseorang harus menjaga kesopanan dan etika Islam. Ini termasuk berbicara dengan sopan, menghormati tuan rumah, dan mengikuti adat dan tradisi setempat selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam
  2. Sosial: prinsi-prinsip sosial juga harus diterapkan dalam walimah, termasuknya yaitu tidak memprioritaskan mana yang kaya dan mana yang miskin, sehingga dengan kesetaraan sosial tadi, tidak ada satupun pihak yang merasa tersakiti dan tersudutkan
  3. Makanan dan Minuman: Ketika diundang untuk makan di walimah, penting untuk memastikan bahwa makanan dan minuman yang disajikan halal. Selain itu, harus dihindari makanan yang diragukan status kehalalan atau  keharamannya
  4. Pakaian: Mengenakan pakaian yang sopan dan pantas adalah suatu keharusan saat menghadiri walimah. Pakaian harus menutup aurat dan tidak mencolok
  5. Interaksi Gender: Saat hadir dalam walimah, interaksi antara gender haruslah dalam batas-batas yang diizinkan dalam Islam. Hal ini berarti menjaga pembicaraan dan kontak fisik dalam batas-batas yang sopan dan tidak melebihi batas-batas agama.
  6. Perilaku Umum: Selama di walimah, penting untuk menghindari perilaku yang tidak pantas, seperti ghibah (menggunjing), mencela, atau melakukan tindakan yang tidak senonoh.

Dan masih banyak lagi etika ataupun persyaratan yang harus terlengkapi dalam menghadiri walimah. Sedangkan untuk jenis-jenis walimah lain, hukum yang yang disampaikan oleh ulama tidaklah sampai pada taraf wajib, sebagian ada yang mengatakan sunah, wajib dan bahkan mubah[6].

Mengekor dari apa yang telah kami sampaikan, bahwa hukum menghadiri walimah adalah wajib; bila walimah yang dimaksud adalah walimah ursy, sedangkan bila walimah yang dimaksud adalah selain walimah ursy’, maka menurut pendapat yang ashoh adalah sunah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa menghadiri walimah safar adalah sunah, dengan menetapi protokol-protokol yang telah ditentukan, dengan teori menyamakannya (menganalogikan) dengan walimah qudum. Walimah qudum sendiri dilaksanakan karena habis pulang dari masa perjalanan. Karena latar belakang yang sama, ulama menyamakan antara walimah safar dengan walimah qudum berdasarkan penerapan teori qiyas kalau dalam ushul fikih. Memang, dalam literatur fikih istilah walimah safar jarang sekali ditemukan, meskipun ada secuil ulama yang membahas secara singkat, itupun masih abu-abu dalam kejelasan maksudnya, hal tersebut dijelaskan oleh Al Halimi; “ disunahkan -tertuju- kepada orang yang berpergian untuk memberi makan terhadap sesama”, beliau memaknai kata “memberi” disini dengan menggelar makan-makan seadanya, sehingga walimah safar pun begitu, sebelum berangkat alangkah baiknya mengadakan jamuan seadanya. Beliau menukil permasalahan ini dari atsar para sahabat[7].

 Mengenai konsep qiyas, dalam ilmu ushul fiqh, analogi (qiyas) adalah salah satu metode penalaran hukum Islam yang penting. Analogi digunakan ketika tidak ada ketentuan hukum yang langsung mengatur suatu masalah tertentu, tetapi ada ketentuan hukum yang serupa atau analogi dengan masalah tersebut[8].

Kesimpulannya, menggelar ataupun menghadiri walimah safar adalah hal yang disunnahkan, selagi tidak ada kemunkaran yang sangat jelas dan tidak menjadikannya sebagai ajang perlombaan dalam pamer harta atau semacamnya. Toh juga,  walimah adalah acara yang baik. Adat yang tidak ada dalam kultur Islam namun menjunjung tinggi nilai-nilai Islam.

 

Oleh: Moh. Miftahul Khairi


[1]  Agus Arifin, Ensiklopedia umrah dan haji, elex media komputindo.

[2] Ar ruyyani, abu al-mahasin abdul wahid bin isma’il, bahr al-madzhab,hal: 528/9, voc: maktabah syameela.

[3] Al hashni, Abu Bakar bin Muhammad, kifayatul ahyar, hal: 374, voc; maktabah syameela.

[4] Ibid;.

[5] Abdul Muhsin Al Ibad, syarh sunan Abi Dawud, hal: 468/19, voc: maktabah syameela.

[6] Ibnu Abdil Bar, al inshaf, hal: 324, voc: maktabah syameela.

[7] Al Hashniy, Abu Bakar bin Muhammad, kifayatul ahyar, hal: 373, voc: maktabah syameela.

[8] Al Anshoriy, Abi Zakariya, lubbul ushul, hal: 283, dar Al Kotob Al Ilmiyyah.

Bagikan :

Tambahkan Komentar Baru

 Komentar Anda berhasil dikirim. Terima kasih!   segarkan
Kesalahan: Silakan coba lagi